Salah satu pemandu museum sedang memberikan penjelasan
Salah satu bagian dalam Bale Panyawangan Diorama Tatar Sunda
Sectie Van Batavia kali ini akan memberikan rekomendasi salah satu museum yang dapat dikunjungi, khususnya di Jawa Barat. Ada sebuah museum yang memiliki cara lain dalam menyajikan dan bercerita tentang sejarah kepada para pengunjungnya. Museum ini terletak di Purwakarta, Jawa Barat. Mengenai museum ini, dapat disimak dari salinan berita di bawah berikut:
"Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, Yang Mulia Purnawarman, yang sekalian menjadi raja."
"Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, Yang Mulia Purnawarman, yang sekalian menjadi raja."
Begitulah terjemahan dari isi Prasasti Cidanghiang yang ditemukan di Munjul, Pandeglang. Sosok itu melihat dan membacanya dari sebuah museum yang tidak terlalu luas, namun memiliki teknologi yang jauh lebih maju dari museum-museum yang ada pada umumnya. Sebuah museum tentang sejarah keberadaan Kerajaan Sunda, keruntuhannya, lalu beralih ke masa setelah kerajaan, penjajahan Belanda, hingga masa kemerdekaan Bangsa Indonesia. Semua itu ada di museum yang letaknya di salah satu Gedung Kembar di Purwakarta, dengan nama Bale Panyawangan Diorama Tatar Sunda. Museum ini berada di gedung bagian selatan.
Mengapa dinamakan
Gedung Kembar? Itu hanyalah sebutan masyarakat Purwakarta pada umumnya karena
memang ada dua gedung dengan bentuk mirip, terletak tepat di depan gerbang
Stasiun Purwakarta, masing-masing berada di sebelah utara dan di sebelah
selatan. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi kemudian pada 2011 menamakan dua gedung
tersebut sebagai Gedung Nakula Sadewa. Berdasarkan Bratadidjaja (2005) dan
Sumantapura (2005), pada perempat pertama abad ke-20 gedung di sebelah utara
adalah Toko Sepatu "Janam", sebuah toko sepatu milik seorang etnis Cina yang
terbesar di Purwakarta. Sedangkan gedung di sebelah selatan pada masa
penjajahan Jepang adalah Toko Peralatan Foto yang dimiliki oleh seorang etnis
Jepang. Kemudian pada zaman revolusi kemerdekaan, gedung di sebelah utara
difungsikan sebagai Markas BKR. Seiring dengan perkembangan zaman, dua gedung
tersebut beralih fungsi sesuai kebutuhan pada zamannya.
Nah, apa hanya Prasasti Cidanghiang saja yang ada di Museum Diorama? Tentu tidak. Sosok itu melihat ada sekira 12 prasasti di Bale Prabu Maharaja Linggabhuwana, salah satu ruangan yang terletak di bagian depan. Ruangan ini menjelaskan tentang Sejarah Tatar Sunda termasuk penjelasan singkat tentang museum itu sendiri. Tidak seperti museum yang ada di Indonesia pada umumnya—apalagi kalau dibandingkan dengan beberapa museum yang pernah dilihatnya di Bandung—arsip-arsip yang ada di Bale Panyawangan Diorama tidak lagi berupa lembaran naskah kertas, tapi sudah berupa arsip digital. Inti tentu saja dibuat agar pengunjung tidak merasa bosan dan jenuh saat mengunjunginya. Itulah mengapa prasasti-prasasti yang ada juga dilengkapi miniatur aslinya. Selain Prasasti Cidanghiang juga ada Tugu Batu Padrao, Prasasti Tugu, Prasasti Batu Tulis, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Koleangkak, Prasasti Pasir Awi, Candi Segaran V, Prasasti Sang Hyang Tapak I-II, dan Prasasti Kawali I-V.
Untuk menuju ke Museum Diorama yang terletak di Jl. KK. Singawinata, Kampus Ceplak, Desa Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta, begitu mudah. Akses tercepat bagi orang luar kota adalah dengan mengambil patokan Stasiun Purwakarta karena museumnya sendiri berada tepat di depan gerbangnya, di sebelah kiri atau selatan. Sosok itu sendiri bersama Ulu (baca Kemolekan Taman Sri Baduga) setelah turun dari travel langsung menggunakan jasa angkot. Tinggal bertanya saja pada warga sekitar bagaimana menuju stasiun atau gedung kembar. Letaknya sendiri tidak jauh dari Situ Buleud alias Taman Sri Baduga. Kalau tidak mau naik angkot, silakan tawar-menawar harga sampai harga pas dengan tukang andong atau tukan becak. Tinggal pilih.
Membaca dari salah satu batu yang ada di Bale Prabu Maharaja Linggabhuwana, museum tersebut diprakarsai oleh Bupati Puwakarta periode 2013-2018 dengan narasumber utama Prof. Dr. Hj. Nina H. Lubis, M.S. Museum Diorama dibagi menjadi 9 (sembilan) ruangan yang disebut dengan bale. Selain Bale Prabu Maharaja Linggabhuwana yang menyajikan sejarah Tatar Sunda, juga terdapat Bale Prabu Niskala Wastukancana, Bale Prabu Dewaniskala, Bale Prabu Ningratwangi, Bale Prabu Jayaningrat, Bale Prabu Ratudewata, Bale Prabu Nilakendra, Bale Prabu Surawisesa, dan Bale Ki Pamanah Rasa. Bale Prabu Niskala Wastukancana menyajikan hall of fame para pemimpin Purwakarta dari generasi pertama hingga saat kini. Bale Prabu Dewaniskala menggambarkan Purwakarta pada masa pengaruh Mataram, VOC, dan Hindia Belanda dalam rentang waktu 1620-1799.
Bale Prabu Ningratwangi menyajikan Purwakarta pada masa Hindia Belanda tahun 1800-1942. Bale Prabu Jayaningrat menampilkan gambaran Purwakarta pada masa pergerakan nasional dan masa pendudukan Jepang. Bale Prabu Ratudewata menyajikan keadaan Purwakarta pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan 1945-1950, dimulai dengan Peristiwa Rengasdengklok dan zaman Demokrasi Liberal 1950-1959. Bale Prabu Nilakendra menampilkan para Bupati dan aktivitas DPRD Kabupaten Purwakarta 1959-2008. Bale Prabu Surawisesa menampilkan aktivitas Bupati dan DPRD Kabupaten Purwakarta 2008-2018. Sedangkan Bale Ki Pamanah Rasa memberikan gambaran "Digjaya Purwakarta Istimewa 2008-2018".
Secara keseluruhan, Museum Diorama memang berbeda dengan museum-museum yang ada pada umumnya. Mereka lebih mengedepankan arsip-arsip digital sehingga bisa dinikmati secara berbeda oleh para pengunjung. Salah satunya adalah buku digital yang bisa dibaca-baca dengan menggunakan piranti komputer, atau bahkan ada buka yang halamannya bisa dibuka tapi langsung menampilkan video yang pas dengan halaman tersebut. Begitupula dengan miniatur beberapa patung tembaga yang menggambarkan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan tema setiap ruangan. Itulah yang disebut dengan diorama yang sering sosok itu lihat di Monumen Nasional (Monas).
Salah satu ruangan yang unik menurut sosok itu adalah beberapa patung wayang yang ada di Bale Ki Pamanah Rasa. Beberapa tokoh pewayangan yang tidak asing adalah Raden Arjuna, putra dari pasangan Dewi Kunti dan Batara Indra, yang sering disebut sebagai Ksatria Panengah Pandawa. Lalu ada Raden Werkudara atau Bima. Ada Semar yang merupakan putra Sang Hyang Wisesa dengan gelar Batara Semar atau Batara Ismaya. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah Astrajingga yang biasa dikenal dengan Si Cepot, adalah anak pertama dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen.
Pada bagian akhir dari Museum Diorama terdapat Teater Mini yang menyajikan film biografi Kota Purwakarta. Beberapa tempat wisata ditunjukkan dengan sangat indahnya meski terdapat kekurangan dalam hal pengambilan gambar dan pengeditan. Begitupula dengan wisata bersepeda dengan tiga monitor besar di hadapannya. Pengunjung dapat bersepeda statis yang menggunakan sepeda tua (onthel) sehingga video berputar dan seolah-olah diajak berkeliling Purwakarta. Namun lucu juga saat gambar mulai menaik sebagai bukti bahwa pengambilan video menggunakan drone. Masa naik sepeda bisa terbang? Hehehe … tapi itu bisa dianggap sebagai hiburan belaka. Asli, masih banyak kisah yang belum ditulisan dari Museum Diorama itu. Masih penasaran?
Sumber Berita:
Sumber Foto:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD