Sementara orang-orang Bumiputera
masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi andalan, orang-orang Belanda
yang ada di Hindia Belanda sudah menggunakan sepeda motor. Karena gengsi ini,
mereka umumnya memandang rendah orang-orang Bumiputera yang masih menggunakan
sepeda. Hal itu dapat dimaklumi, karena untuk membeli sepeda saat itu harganya
sangat mahal dan kurang bersahabat untuk kocek orang-orang Bumiputera.
Bagi kebanyakan masyarakat saat itu,
memiliki sepeda saja sudah dianggap baik dan menjadi alat transportasi diidolakan.
Bahkan, dengan memiliki sepeda dianggap masih menjadi tolok ukur penyesuaian
diri dengan kemajuan zaman pada saat itu. Sepeda yang ada pada masa itu adalah
sepeda onthel.
Sepeda onthel dan sepeda motor diduga
masuk secara besar-besaran ke Hindia Belanda pada masa sebelum tahun 1918
hingga 1939. Ketika itu, Perang Dunia I telah usai dan semua produksi barang
antar negara kembali lancar. Di Hindia Belanda umumnya terdapat perwakilan
kantor dagang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Negara-negara itu
kemudian memasok sepeda onthel dan sepeda motor ke kota-kota besar seperti
Batavia (Jakarta), Bandung, Semarang, Surabaya dan lain-lain. Pada masa itu,
orang-orang Bumiputera sudah mulai mampu untuk membeli barang-barang buatan
Eropa dan Amerika Serikat.
Untuk melakukan promosi, biasanya
sepeda onthel diiklankan dengan cara dilukiskan pada enamel (plat besi yang
dilapisi cat enamel). Iklan enamel dibuat pada masa 1930 hingga 1939. Di mana,
di fase waktu itu merupakan waktu sedang booming sepeda di Hindia Belanda, bagi
kalangan menengah ke bawah. Kaum kalangan menengah ke atas tentu tidak ikut
mode semacam itu karena mereka sudah mampu membeli sepeda motor.
Saat itu, jalan raya sudah ramai.
Bahkan disediakan jalur khusus bagi pengguna sepeda onthel. Jalur-jalur itu
beberapa di antaranya bertahan hingga era 1960-an. Mengenai peminggiran jalur
antara sepeda motor ini, dikutip dari Kompas edisi Jum’at 7 April 1969:
"Dahulu kala Belanda masih berkuasa
di Djakarta pernah terdjadi hal berikut: Di pinggri djalan Matraman Raja jang
lebar ada djalan untuk sepeda djang sempit. Penunggang sepeda tak
henti-hentinja diperbal dan didenda karena menggunakan djalan Matraman Raja jang
lebar dan hanja dilalui kendaraan bermotor (Snelverkeer). Meskipun begitu,
pengendara sepeda tetap bandel dan polisi main perbal terus."
Diskriminasi terhadap pengendara
sepeda saat itu akhirnya menuai kritik dan protes dari masyarakat. Kritik dan
protes keras pun muncul di berbagai koran dan lembaran harian. Salah satunya di
Het Dagblad. Tertulis dalam koran tersebut:
"Adalah wadjar mengapa pengendara
sepeda soeka menggoenakan djalan jang terlarang itoe, karena jang terlarag itoe
litjin aspalnja, sedangkan jang oentoek sepeda penoeh lobang-lobangnja."
Pemerintah Hindia Belanda pun
mengalah. Jalan Matraman Raya itu akhirnya diperbaiki, sehingga pengendara
sepeda dan polisi sama-sama diuntungkan dengan adanya perbaikan jalan tersebut.
Para pengendara sepeda tetap mendapatkan haknya melintasi jalan raya, dan para polisi
tidak perlu lagi menindak para pengendara sepeda tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD