Kamis, 10 Desember 2015

Sedikit Kisah Sepeda Onthel Hindia Belanda

Anggota klub sepeda G.S. Vrijburg, Bandung 1917



Dari: Surabaya Historical Community

Sementara orang-orang Bumiputera masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi andalan, orang-orang Belanda yang ada di Hindia Belanda sudah menggunakan sepeda motor. Karena gengsi ini, mereka umumnya memandang rendah orang-orang Bumiputera yang masih menggunakan sepeda. Hal itu dapat dimaklumi, karena untuk membeli sepeda saat itu harganya sangat mahal dan kurang bersahabat untuk kocek orang-orang Bumiputera.

Bagi kebanyakan masyarakat saat itu, memiliki sepeda saja sudah dianggap baik dan menjadi alat transportasi diidolakan. Bahkan, dengan memiliki sepeda dianggap masih menjadi tolok ukur penyesuaian diri dengan kemajuan zaman pada saat itu. Sepeda yang ada pada masa itu adalah sepeda onthel.

Sepeda onthel dan sepeda motor diduga masuk secara besar-besaran ke Hindia Belanda pada masa sebelum tahun 1918 hingga 1939. Ketika itu, Perang Dunia I telah usai dan semua produksi barang antar negara kembali lancar. Di Hindia Belanda umumnya terdapat perwakilan kantor dagang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Negara-negara itu kemudian memasok sepeda onthel dan sepeda motor ke kota-kota besar seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Semarang, Surabaya dan lain-lain. Pada masa itu, orang-orang Bumiputera sudah mulai mampu untuk membeli barang-barang buatan Eropa dan Amerika Serikat.

Untuk melakukan promosi, biasanya sepeda onthel diiklankan dengan cara dilukiskan pada enamel (plat besi yang dilapisi cat enamel). Iklan enamel dibuat pada masa 1930 hingga 1939. Di mana, di fase waktu itu merupakan waktu sedang booming sepeda di Hindia Belanda, bagi kalangan menengah ke bawah. Kaum kalangan menengah ke atas tentu tidak ikut mode semacam itu karena mereka sudah mampu membeli sepeda motor.

Saat itu, jalan raya sudah ramai. Bahkan disediakan jalur khusus bagi pengguna sepeda onthel. Jalur-jalur itu beberapa di antaranya bertahan hingga era 1960-an. Mengenai peminggiran jalur antara sepeda motor ini, dikutip dari Kompas edisi Jum’at 7 April 1969:

"Dahulu kala Belanda masih berkuasa di Djakarta pernah terdjadi hal berikut: Di pinggri djalan Matraman Raja jang lebar ada djalan untuk sepeda djang sempit. Penunggang sepeda tak henti-hentinja diperbal dan didenda karena menggunakan djalan Matraman Raja jang lebar dan hanja dilalui kendaraan bermotor (Snelverkeer). Meskipun begitu, pengendara sepeda tetap bandel dan polisi main perbal terus."

Diskriminasi terhadap pengendara sepeda saat itu akhirnya menuai kritik dan protes dari masyarakat. Kritik dan protes keras pun muncul di berbagai koran dan lembaran harian. Salah satunya di Het Dagblad. Tertulis dalam koran tersebut:

"Adalah wadjar mengapa pengendara sepeda soeka menggoenakan djalan jang terlarang itoe, karena jang terlarag itoe litjin aspalnja, sedangkan jang oentoek sepeda penoeh lobang-lobangnja."

Pemerintah Hindia Belanda pun mengalah. Jalan Matraman Raya itu akhirnya diperbaiki, sehingga pengendara sepeda dan polisi sama-sama diuntungkan dengan adanya perbaikan jalan tersebut. Para pengendara sepeda tetap mendapatkan haknya melintasi jalan raya, dan para polisi tidak perlu lagi menindak para pengendara sepeda tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD