Kerajaan-kerajaan
yang pernah berdiri di Jawa, dalam melakukan pengendalian kekuasaan, tentunya
menerapkan sistem hukum. Dengan sistem hukum tersebut, kekuasaan kerajaan dapat
memberikan manfaat bagi rakyat yang dinaungi. Adanya sistem hukum di masa itu
dapat diketahui dari prasasti dan sastra. Boechari telah mengumpulkan sebanyak
12 prasasti yang di dalamnya memuat tentang pelanggaran hukum yang terjadi
mulai dari pertengahan abad ke-9 hingga abad ke-14. Delapan di antaranya
berasal dari periode sebelum abad ke-13.
Dari isi
prasasti-prasastinya, pajak tanah dan sengketa waris tanah adalah masalah yang
paling umum dicatat. Selebihnya lagi adalah masalah kewarganegaraan yang
dikaitkan dengan kewajiban membayar pajak dan utang-piutang. Adanya
kecenderungan bahwa masalah hak waris tanah baru muncul sesudah abad ke-10.
Beberapa prasasti di antaranya memuat sedikit keterangan tentang prosedur
penyelesaian sengketa, misalnya dengan mengirimkan surat panggilan kepada pihak-pihak
yang bersengketa untuk memulai penyelesaiannya (Wurudul Kidul).
Prasasti-prasasti dari Majapahit (Bendosari dan Parung) memuat keterangan bahwa
permasalahan hendaknya dapat diselesaikan menurut ketentuan yang ada dalam
kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya, isi
kitab Kutaramanawa dan kebiasaan pejabat kehakiman yang ahli terdahulu.
Terdapat tiga hal
penting yang diketahui dari penerapan sistem hukum di masa itu. Pertama,
kitab-kitab hukum yang tertulis dan bersifat “nasional” telah ada. Kedua, hukum
adat masih dijadikan sumber aturan tambahan. Ketiga, pengetahuan tentang hukum
formal telah dikenal oleh penduduk pedesaan.
Di luar masalah
tanah, ada pula masalah yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap aturan sima.
Tidak dirinci bagaimana jenis-jenis pelanggaran tersebut, namun semuanya
menggunakan istilah-istilah yang memiliki arti yang sama, yakni "mengganggu".
Hanya satu dari beberapa istilah yang biasanya digunakan dalam prasasti, yakni
umulahulah atau ulahulah, langgana, mungkil-mungkil, dan angruddha.
Sejumlah prasasti
juga menyebutkan daftar berisi orang-orang yang dilarang mengganggu sima
disertai sanksi-sanksinya. Pada dasarnya, semua orang tidak boleh mengganggu
sima (wang kabeh mageng admit salwirnya), lalu diikuti dengan rinciannya yang
terdiri dari caturasrama (bramacari, grhasta, wanaprasta, biksuka), caturwarna
(Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra), pejabat desa (apinghay, akurug) dan
terutama oleh raja dan mantri berikutnya.
Bentuk sanksi yang
dikenakan ada dua, yaitu kutuk dan denda. Mengenai sanksi kutuk, dibacakan oleh
pemimpin upacara sambil memperlihatkan tindakan simbolik dengan cara memotong
leher ayam di atas landasan watu kalumpang dan membanting telur di atas watu
sima serta kadang-kadang menaburkan abu. Dengan tindakan simbolik tersebut
diharapkan si pelanggar akan bernasib malang seperti ayam yang telah dipisahkan
antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telur yang telah pecah
dan seperti nasib kayu yang jadi abu karena hangus terbakar. Untuk menegaskan
malapetaka yang akan menimpa, kutukan dibacakan:
"Jika pergi ke hutan
akan dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir sekalipun
musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan disahut buaya."
Sebagai penutup,
diucapkan kepada para pelanggar agar mendapat kemalangan yang besar
(pancamahapataka) selain waktu yang tak terbatas.
Sanksi denda
dinyatakan dalam bentuk emas. Jumlahnya, dalam beberapa prasasti dirinci. Yang
terkecil pernah disebutkan adalah ma satu ka lima su (sekitar 592,51 gram),
sebagaimana disebutkan dalam prasasti Patakan. Sementara yang terbesar adalah
ma lima ka satu su (sekitar 3812,90 gram), sebagaimana disebutkan dalam
prasasti Panggumulan. Pada umumnya, prasasti-prasasti sebelum abad ke-12
menyebutkan sanksi kutukan yang memang lazim di masanya. Berbeda dengan saat
memasuki abad ke-12, sanksi denda adalah sesuatu yang lazim. Terutama sekali di
masa Kediri.
Dari sudut
pengawasan, di masa Kediri sepertinya terjadi perubahan orientasi dari
sanksi-sanksi kutukan menuju sanksi-sanksi denda. Hal itu dapat dimaklumi,
karena sanksi kutukan menekankan kepada hal yang bersifat magis untuk membuat
orang sadar, sementara sanksi denda lebih bersifat nyata. Namun, sanksi kutukan
masih tetap berlaku sebagaimana dinyatakan dalam mantra kutukan pancamahabhuta
(lima kutukan besar) atau jagadupa-drawa (kemalangan di dunia).
Ada pula bermacam
jenis pelanggaran lain yang dalam prasasti dikenal dengan istilah sukhaduhka
atau halahayu. Arti harfiah dari sukhaduhka adalah senang-susah, sedangkan
halahayu berarti buruk dan baik. Nama-nama jenis pelanggaran tersebut biasanya
berkaitan dengan tindakan kriminal. Sumber-sumber tertulis biasanya menyebut
dengan istilah dan ungkapan Jawa Kuno yang tidak sepenuhnya dipahami artinya. Sebagiannya
saja yang dapat diketahui, terutama setelah dituliskan dalam kitab hukum pada
masa Majapahit.
Sumber berita Cina yang memuat keterangan tentang Jawa
dari abad ke-12 dan ke-13 di antaranya menyebutkan jika orang bersalah didenda
dengan sejumlah emas, jika merampok atau mencuri dihukum mati. Keterangan
tersebut memberi petunjuk bahwa kodifikasi hukum mungkin telah diawali di masa
Kediri. Pentingnya aturan hukum tentu bukan semata-mata dapat dilihat dari
aspek adiministratifnya, tetapi juga dalam aspek-aspek lain yang menyangkut
masalah pengelolaan ekonomi dan pengendalian keamanan.
Di masa Majapahit
khususnya, kitab-kitab hukum tampak semakin penting. Beberapa kitab hukum yang
diduga dibuat di masa Majapahit adalah Kutaramanawa, Dewagama, Adigama,
Swarajambhu, Canakya, Kamandaka, Kertopapati, Dharmmopapati, Dustakalabaya, Dewadanda, Purwadigama dan Sarasamuchaya.
Mengenai siapa yang
menjalankan fungsi hukum, dari masa Mataram hingga masa Jenggala-Kediri melalui
sumber-sumber tertulis, tidaklah banyak diketahui. Diduga para petugas yang
menjalankannya adalah mereka yang bergelar samget. Fungsi pemilik gelar ini
baru jelas diketahui sejak masa Singhasari. Nama jabatan tersbeut dikenal
dengan sebutan Dharmmadhyaksa (kasaiwan dan kasogatan) yang dibantu pula oleh
pejabat lain dengan gelar samget. Fungsi kelompok tampak berkembang pada masa
Majapahit.
Sumber:
"Peradaban Jawa; Dari
Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir" oleh Supratikno Rahardjo. Diterbitkan atas
kerjasama Yayasan Kertagama dengan Komunitas Bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD