Minggu, 17 Januari 2016

Penerapan Sistem Hukum di Masa Jawa Kuno




Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Jawa, dalam melakukan pengendalian kekuasaan, tentunya menerapkan sistem hukum. Dengan sistem hukum tersebut, kekuasaan kerajaan dapat memberikan manfaat bagi rakyat yang dinaungi. Adanya sistem hukum di masa itu dapat diketahui dari prasasti dan sastra. Boechari telah mengumpulkan sebanyak 12 prasasti yang di dalamnya memuat tentang pelanggaran hukum yang terjadi mulai dari pertengahan abad ke-9 hingga abad ke-14. Delapan di antaranya berasal dari periode sebelum abad ke-13.

Dari isi prasasti-prasastinya, pajak tanah dan sengketa waris tanah adalah masalah yang paling umum dicatat. Selebihnya lagi adalah masalah kewarganegaraan yang dikaitkan dengan kewajiban membayar pajak dan utang-piutang. Adanya kecenderungan bahwa masalah hak waris tanah baru muncul sesudah abad ke-10. Beberapa prasasti di antaranya memuat sedikit keterangan tentang prosedur penyelesaian sengketa, misalnya dengan mengirimkan surat panggilan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk memulai penyelesaiannya (Wurudul Kidul). Prasasti-prasasti dari Majapahit (Bendosari dan Parung) memuat keterangan bahwa permasalahan hendaknya dapat diselesaikan menurut ketentuan yang ada dalam kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya, isi kitab Kutaramanawa dan kebiasaan pejabat kehakiman yang ahli terdahulu.

Terdapat tiga hal penting yang diketahui dari penerapan sistem hukum di masa itu. Pertama, kitab-kitab hukum yang tertulis dan bersifat “nasional” telah ada. Kedua, hukum adat masih dijadikan sumber aturan tambahan. Ketiga, pengetahuan tentang hukum formal telah dikenal oleh penduduk pedesaan.


Di luar masalah tanah, ada pula masalah yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap aturan sima. Tidak dirinci bagaimana jenis-jenis pelanggaran tersebut, namun semuanya menggunakan istilah-istilah yang memiliki arti yang sama, yakni "mengganggu". Hanya satu dari beberapa istilah yang biasanya digunakan dalam prasasti, yakni umulahulah atau ulahulah, langgana, mungkil-mungkil, dan angruddha.

Sejumlah prasasti juga menyebutkan daftar berisi orang-orang yang dilarang mengganggu sima disertai sanksi-sanksinya. Pada dasarnya, semua orang tidak boleh mengganggu sima (wang kabeh mageng admit salwirnya), lalu diikuti dengan rinciannya yang terdiri dari caturasrama (bramacari, grhasta, wanaprasta, biksuka), caturwarna (Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra), pejabat desa (apinghay, akurug) dan terutama oleh raja dan mantri berikutnya.

Bentuk sanksi yang dikenakan ada dua, yaitu kutuk dan denda. Mengenai sanksi kutuk, dibacakan oleh pemimpin upacara sambil memperlihatkan tindakan simbolik dengan cara memotong leher ayam di atas landasan watu kalumpang dan membanting telur di atas watu sima serta kadang-kadang menaburkan abu. Dengan tindakan simbolik tersebut diharapkan si pelanggar akan bernasib malang seperti ayam yang telah dipisahkan antara badan dan kepalanya, akan hancur lebur seperti telur yang telah pecah dan seperti nasib kayu yang jadi abu karena hangus terbakar. Untuk menegaskan malapetaka yang akan menimpa, kutukan dibacakan:

"Jika pergi ke hutan akan dimakan ular berbisa, jika pergi ke ladang akan disambar petir sekalipun musim kemarau, jika pergi ke bendungan akan disahut buaya."

Sebagai penutup, diucapkan kepada para pelanggar agar mendapat kemalangan yang besar (pancamahapataka) selain waktu yang tak terbatas.

Sanksi denda dinyatakan dalam bentuk emas. Jumlahnya, dalam beberapa prasasti dirinci. Yang terkecil pernah disebutkan adalah ma satu ka lima su (sekitar 592,51 gram), sebagaimana disebutkan dalam prasasti Patakan. Sementara yang terbesar adalah ma lima ka satu su (sekitar 3812,90 gram), sebagaimana disebutkan dalam prasasti Panggumulan. Pada umumnya, prasasti-prasasti sebelum abad ke-12 menyebutkan sanksi kutukan yang memang lazim di masanya. Berbeda dengan saat memasuki abad ke-12, sanksi denda adalah sesuatu yang lazim. Terutama sekali di masa Kediri.

Dari sudut pengawasan, di masa Kediri sepertinya terjadi perubahan orientasi dari sanksi-sanksi kutukan menuju sanksi-sanksi denda. Hal itu dapat dimaklumi, karena sanksi kutukan menekankan kepada hal yang bersifat magis untuk membuat orang sadar, sementara sanksi denda lebih bersifat nyata. Namun, sanksi kutukan masih tetap berlaku sebagaimana dinyatakan dalam mantra kutukan pancamahabhuta (lima kutukan besar) atau jagadupa-drawa (kemalangan di dunia).

Ada pula bermacam jenis pelanggaran lain yang dalam prasasti dikenal dengan istilah sukhaduhka atau halahayu. Arti harfiah dari sukhaduhka adalah senang-susah, sedangkan halahayu berarti buruk dan baik. Nama-nama jenis pelanggaran tersebut biasanya berkaitan dengan tindakan kriminal. Sumber-sumber tertulis biasanya menyebut dengan istilah dan ungkapan Jawa Kuno yang tidak sepenuhnya dipahami artinya. Sebagiannya saja yang dapat diketahui, terutama setelah dituliskan dalam kitab hukum pada masa Majapahit.

Sumber berita Cina yang memuat keterangan tentang Jawa dari abad ke-12 dan ke-13 di antaranya menyebutkan jika orang bersalah didenda dengan sejumlah emas, jika merampok atau mencuri dihukum mati. Keterangan tersebut memberi petunjuk bahwa kodifikasi hukum mungkin telah diawali di masa Kediri. Pentingnya aturan hukum tentu bukan semata-mata dapat dilihat dari aspek adiministratifnya, tetapi juga dalam aspek-aspek lain yang menyangkut masalah pengelolaan ekonomi dan pengendalian keamanan.

Di masa Majapahit khususnya, kitab-kitab hukum tampak semakin penting. Beberapa kitab hukum yang diduga dibuat di masa Majapahit adalah Kutaramanawa, Dewagama, Adigama, Swarajambhu, Canakya, Kamandaka, Kertopapati, Dharmmopapati, Dustakalabaya, Dewadanda, Purwadigama dan Sarasamuchaya.

Mengenai siapa yang menjalankan fungsi hukum, dari masa Mataram hingga masa Jenggala-Kediri melalui sumber-sumber tertulis, tidaklah banyak diketahui. Diduga para petugas yang menjalankannya adalah mereka yang bergelar samget. Fungsi pemilik gelar ini baru jelas diketahui sejak masa Singhasari. Nama jabatan tersbeut dikenal dengan sebutan Dharmmadhyaksa (kasaiwan dan kasogatan) yang dibantu pula oleh pejabat lain dengan gelar samget. Fungsi kelompok tampak berkembang pada masa Majapahit.


Sumber:
"Peradaban Jawa; Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir" oleh Supratikno Rahardjo. Diterbitkan atas kerjasama Yayasan Kertagama dengan Komunitas Bambu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD