Menjadi pegiat dan pecinta sejarah bukan hanya sekadar berkeliling ke museum-museum atau tempat bersejarah lainnya belaka. Bukan pula sebatas berdialog dengan para pakar sejarah saja. Tetapi dengan dua hal itu, para pegiat dan pecinta sejarah seharusnya bersikap secara patut dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sejarah.
Sebagai contoh, mari kita ambil mengenai sejarah Wali Songo. Meski para sejarawan telah menghasilkan penelitian yang memuaskan tentang keberadaan Wali Songo, masih saja ada pihak-pihak dengan kepentingan tertentu yang mengingkari fakta keberadaan Wali Songo. Atau, ada lagi yang mengklaim Wali Songo sepaham dengan kelompok mereka. Minimal, paling parah mengatakan Wali Songo sesat. Itu dapat kita jumpai di situs-situs berlabel Islam di internet yang dimiliki kelompok-kelompok tersebut. Propaganda-propaganda ini sangat mengkhawatirkan, mengingat situs-situs ini juga menduduki peringkat-peringkat atas dalam search engine seperti Google. Konsumsi masyarakat Indonesia yang tergolong tinggi akan internet juga turut berpengaruh pada masuknya propaganda-propaganda tersebut dalam pemikiran masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Alhasil, mereka yang tidak memiliki pijakan memahami sejarah yang baik (meskipun kuat dalam religius) akan terseret dalam arus pemikiran yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai bentuk tindakan amoral terhadap dunia sejarah. Jika kita mau iseng, coba saja masuk ke grup-grup yang menyajikan perdebatan internal dalam agama Islam. Ada saja satu post yang menyajikan tentang propaganda-propaganda di atas. Mereka yang berkomentar pada post tersebut terkadang tidak terkendali dan sering pula menjurus pada ajang caci-maki, sementara orang-orang yang membuat ulah dalam post tersebut ada yang meninggalkan begitu saja tanpa mempertanggungjawabkan propaganda yang disalinnya dari stus-situs yang dimaksud. Salah satu kalimat bela diri yang digemari mereka adalah, "Jika hati telah dikunci oleh Allah, niscaya akan sulit menerima kebenaran".
Bahkan, di beberapa perguruan tinggi pun dapat dijumpai mahasiswa-mahasiswa yang tercemar berbagai propaganda tersebut. Terutama dari kalangan aktivis LDK yang tersusupi oleh propaganda-propaganda tersebut. Ironisnya, mereka ada juga yang berasal dari perguruan tinggi yang namanya menggunakan nama salah satu anggota Wali Songo.
Tidak berhenti sampai di situ, terkadang propaganda-propaganda ini disajikan dalam kajian-kajian yang dikatakan sebagai kajian ilmiah keislaman yang diadakan kelompok-kelompok tersebut.
Belakangan, keprihatinan akan maraknya propaganda-propaganda tersebut membuat seorang KH Agus Sunyoto tergugah untuk menyusun Atlas Wali Songo. Ini adalah pembuktian pertama yang menggembirakan bagi para pegiat dan pecinta sejarah. Bahkan, Atlas Wali Songo mendapatkan gelar sebagai buku terbaik non fiksi dewasa dalam Islamic Book Fair 2014. Bahkan, pakar seperti Prof. Dr. Mundardjito (Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia) memberikan pengakuan yang baik untuk buku ini. Beliau mengakui bahwa Atlas Wali Songo adalah pembuktian tentang sejarah Wali Songo yang dapat dipertanggungjawabkan. Sambutan baik pun berdatangan dari kalangan mahasiswa dan para pakar lainnya.
Belajar dari kasus di atas, dalam menghadapi satu dari sekian masalah itu, pegiat dan pecinta sejarah harus menghindarkan masyarakat dari adanya propaganda-propaganda amoral tersebut. Sudah seharusnya pula mereka yang menyandang status sebagai pegiat dan pecinta sejarah tidak selalu berkutat pada satu hal dalam sejarah saja. Pegiat dan pecinta harus mengambil peran penting dalam menghapus, minimal membendung upaya-upaya yang tidak benar terhadap bukti-bukti sejarah. Tidak cukup dengan mengadakan sosialisasi ke berbagai sekolah maupun perguruan tinggi, namun juga harus mengambil tindakan berani dengan mempertanyakan dan menantang kelompok-kelompok tersebut, berdampingan dengan para pakar. Adanya para pakar terkait juga telah memberikan keleluasaan untuk memberikan penerangan terhadap masyarakat agar waspada terhadap kelompok-kelompok tersebut.
Selain itu, pegiat dan pecinta sejarah juga harus melakukan dialog dengan para pakar. Tentunya para pakar tersebut bukan orang-orang yang sembarangan, juga bukan berada di level yang sama dengan para pelaku propaganda amoral terhadap dunia sejarah seperti yang dijelaskan di atas, meskipun pelakunya adalah seorang ulama (mungkin terkesan frontal, tapi memang harus jujur). Alangkah baiknya jika tema dialognya berkaitan dengan hal yang serupa. Hasil dialog tersebut kemudian disampaikan dalam sosialisasi ke berbagai tempat.
Intinya, berhati-hatilah dalam memahami sejarah. Anda harus pandai mengharmonisasikanya dengan aspek lainnya, agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang mengikuti alur kepentingan indivdu maupun kelompok tertentu. Dan untuk yang merasa sebagai pegiat dan pecinta sejarah, jangan pernah berhenti melawan upaya-upaya pendustaan terhadap sejarah, meskipun mengatasnamakan agama. Sejatinya, mereka yang melakukan pendustaan terhadap sejarah di suatu negeri pada akhirnya bermuara pada kepentingan terselubung.
Ditulis oleh:
Fajar Muhammad Rivai (salah satu pendiri Sectie Van Batavia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD