Dampak yang akan terjadi dari kelanjutan pembangunan Waduk Jatigede
Revivalis,
atau (dalam hal ini) orang-orang yang mengklaim dan menghendaki adanya
pemurnian dalam agama Islam sudah bukan barang yang asing lagi, termasuk di
Indonesia. Berbagai cara mereka lakukan untuk mempertahankan dan menyebarkan
paham mereka, mulai dari mendirikan media (televisi, website, dan radio),
merambah ke dunia pendidikan formal (sekolah dan universitas) maupun non formal
(perguruan agama), hingga melakukan kajian-kajian “ilmiah” di masjid-masjid.
Namun,
keberadaan mereka justru kerap menimbulkan ketegangan (ini tidak banyak diliput
media-media mainstream). Ketegangan ini dikarenakan sikap kaku mereka dalam
pemahaman terhadap Islam, yang mereka anggap itu sesuai dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah/Al-Hadits. Tidak jarang revivalis cenderung menyalahkan pemahaman
lain yang tidak sesuai dengan pemahaman yang mereka anut. Perdebatan-perdebatan
pun kerap terjadi dan selalu diklaim revivalis bahwa mereka berdebat untuk
kebenaran. Meskipun sebenarnya mereka jelas-jelas selalu mencari pembenaran. Di
samping itu mereka juga mengklaim lebih unggul meski kenyataannya mereka tidak
pernah beruntung, dengan kata lain selalu mengalami kekalahan karena pemahaman
mereka yang kaku. Ditambah dengan kebiasaan mereka mengubah-ubah sejarah bangsa
lain untuk kepentingan kegiatan yang mereka namakan dakwah, ketidak beruntungan
itu telah menjadi boomerang bagi mereka. Namun mereka tidak pernah mau mengakui
kenyataan tersebut.
Tidak
cukup dengan merubah sejarah bangsa lain sesuka hati, mereka pun mencoba untuk
mempengaruhi masyarakat untuk mengabaikan peninggalan sejarah atas nama agama. Bahkan memberikan cap
potensi syirik terhadap peninggalan sejarah. Ini merupakan salah satu perbuatan
ahistoris paling buruk, karena dilakukan dengan membawa-bawa nama agama secara
serampangan.
Di
sisi lain, peninggalan sejarah juga terancam oleh kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah. Entah sudah berapa banyak peninggalan sejarah yang
lenyap atau terabaikan akibat adanya pembangunan-pembangunan di Indonesia.
Pemerintah terkesan setengah hati dalam melindungi peninggalan sejarah yang
juga menjadi cagar budaya. Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya juga terkesan hanya menimbulkan penafsiran buram dalam upaya
melindungi peninggalan sejarah. Yang dimaksud adalah pasal 59 UU tersebut.
Dinyatakan bahwa:
(1) Cagar Budaya yang terancam rusak,
hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang lebih aman.
(2) Pemindahan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang menjamin
keutuhan dan keselamatannya di bawah koordinasi Tenaga Ahli Pelestarian.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap
orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari
pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru.
UU
Cagar Budaya khususnya pada pasal 59 di atas terkesan dipaksakan untuk
diterapkan pada peninggalan sejarah yang berupa situs, yang kini akan terjadi di
sekitar “pembangunan” Waduk Jatigede. Memindahkan peninggalan sejarah yang berupa
situs dari tempat asalnya bukanlah tindakan yang etis. Perlu diketahui, bahwa
situs sejarah melekat pada tempatnya dan nilai-nilai dari situs sejarah
tersebut juga berkaitan dengan identitas lokal di daerah setempat. Terlebih
bila situs sejarah tersebut adalah situs yang berkaitan dengan tokoh lokal yang
memiliki nama harum bagi masyarakat setempat. Beberapa situs sejarah bahkan
memiliki nilai spiritual.
Tentu
jika pasal 59 UU ini diterapkan secara konsisten, akan ada banyak sekali
situs-situs bersejarah baik berupa makam maupun bangunan-bangunan tua dapat
dipindahkan, kalau memang tidak menghilangkan nilai-nilai yang melekat padanya.
Bahkan untuk memindahkan situs bersejarah seperti gedung Stadhuis (kini Museum
Fatahilah), Masjid Agung Demak, makam-makam Wali Songo dan Candi Borobudur pun
semenjak ditetapkannya UU tersebut, tidak pernah dilakukan. Tidak perlu
menunggu ancaman pelapukan atau lainnya untuk memindahkannya. Bahkan sangat
dianjurkan untuk diuji cobakan pada situs-situs sejarah tadi sebagai contoh untuk
membuktikan realisasi dari pasal 59 UU Cagar Budaya tersebut. Dalam konteks
dipindahkan ke tempat aman, bukan dihancurkan seperti halnya Gerbang Amsterdam
(salah satu bagian dari Kasteel van Batavia yang berdiri di masa VOC) yang
pernah berdiri ratusan meter dari depan gedung Stadhuis. Kenyataannya nasib beberapa situs-situs
sejarah tersebut tidak pernah jauh dari penghancuran. Tidak pernah ada
memindahkan situs, yang ada hanya menempatkannya di antara penghancuran,
penelantaran begitu saja atau pembuatan replikanya. Lagipula memindahkan situs
sejarah dari tempat asalnya, jelas akan menghilangkan nilai-nilai yang ada.
Situs sejarah bukan hewan endemik yang bisa ditempatkan di mana saja sesuka
hati, tetapi situs sejarah adalah bagian identitas lokal. Mencoba memindahkan
apalagi menghancurkan situs sejarah berarti hilangnya sebagian unsur dari
identitas lokal. Kiranya tidak ada yang lebih menyedihkan dalam kehidupan
bernegara selain kehilangan identitas lokalnya sebagai suatu bangsa.
Tidak
peduli bersitegang dengan penduduk setempat, pemindahan itu tetap akan
dilaksanakan. Kembali ditegaskan, bahwa memindahkan situs bersejarah dari
tempat asalnya adalah sama dengan memisahkannya dari nilai-nilai penting yang
melekat padanya. Untuk menghadapi masalah ini, pihak penolak mengajukan rencana
Revitalisasi Kabuyutan Nusantara sebagai ganti pembangunan waduk tersebut.
Namun, tidak ada tanggapan positif pada rencana yang sebenarnya lebih realistis
untuk diterapkan tersebut. Tantangan debat dan diskusi berkali-kali,
demonstrasi, hingga deklarasi malah mendapat tanggapan yang kurang baik. Salah satunya adalah ancaman penindak tegasan terhadap siapapun yang menolak kelanjutan
pembangunan Waduk Jatigede yang dilontarkan oleh Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa
Barat sekarang.
Maka
dari itu, ingatlah oleh kalian yang masih merasa menjadi bagian dari bangsa
yang berjiwa besar. Menjaga peninggalan sejarah itu suatu keharusan bagi bangsa
yang beradab, namun bukan berarti harus dengan cara memindahkannya hanya untuk
pembangunan yang bernuansa kontroversial. Peninggalan sejarah adalah bagian tak
terpisahkan bagi eksistensi suatu bangsa, karena bukti peninggalan sejarah
adalah unsur utama akar sejarah dari eksistensi suatu bangsa. Maka siapapun
yang merasa peduli pada sejarah bangsanya, wajib untuk menolak segala bentuk
upaya penodaan terhadap dunia sejarah apalagi didasarkan dalih pembangunan dan
atas nama agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD