Jumat, 07 Agustus 2015

Ketika Peninggalan Sejarah (Kembali) Terancam: Fenomena Himpitan Kaum Revivalis dan Masalah Jatigede

Dampak yang akan terjadi dari kelanjutan pembangunan Waduk Jatigede


Revivalis, atau (dalam hal ini) orang-orang yang mengklaim dan menghendaki adanya pemurnian dalam agama Islam sudah bukan barang yang asing lagi, termasuk di Indonesia. Berbagai cara mereka lakukan untuk mempertahankan dan menyebarkan paham mereka, mulai dari mendirikan media (televisi, website, dan radio), merambah ke dunia pendidikan formal (sekolah dan universitas) maupun non formal (perguruan agama), hingga melakukan kajian-kajian “ilmiah” di masjid-masjid.

Namun, keberadaan mereka justru kerap menimbulkan ketegangan (ini tidak banyak diliput media-media mainstream). Ketegangan ini dikarenakan sikap kaku mereka dalam pemahaman terhadap Islam, yang mereka anggap itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits. Tidak jarang revivalis cenderung menyalahkan pemahaman lain yang tidak sesuai dengan pemahaman yang mereka anut. Perdebatan-perdebatan pun kerap terjadi dan selalu diklaim revivalis bahwa mereka berdebat untuk kebenaran. Meskipun sebenarnya mereka jelas-jelas selalu mencari pembenaran. Di samping itu mereka juga mengklaim lebih unggul meski kenyataannya mereka tidak pernah beruntung, dengan kata lain selalu mengalami kekalahan karena pemahaman mereka yang kaku. Ditambah dengan kebiasaan mereka mengubah-ubah sejarah bangsa lain untuk kepentingan kegiatan yang mereka namakan dakwah, ketidak beruntungan itu telah menjadi boomerang bagi mereka. Namun mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan tersebut.

Tidak cukup dengan merubah sejarah bangsa lain sesuka hati, mereka pun mencoba untuk mempengaruhi masyarakat untuk mengabaikan peninggalan sejarah  atas nama agama. Bahkan memberikan cap potensi syirik terhadap peninggalan sejarah. Ini merupakan salah satu perbuatan ahistoris paling buruk, karena dilakukan dengan membawa-bawa nama agama secara serampangan.

Di sisi lain, peninggalan sejarah juga terancam oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Entah sudah berapa banyak peninggalan sejarah yang lenyap atau terabaikan akibat adanya pembangunan-pembangunan di Indonesia. Pemerintah terkesan setengah hati dalam melindungi peninggalan sejarah yang juga menjadi cagar budaya. Hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya juga terkesan hanya menimbulkan penafsiran buram dalam upaya melindungi peninggalan sejarah. Yang dimaksud adalah pasal 59 UU tersebut. Dinyatakan bahwa:

(1) Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang lebih aman.
(2) Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koordinasi Tenaga Ahli Pelestarian.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru.

UU Cagar Budaya khususnya pada pasal 59 di atas terkesan dipaksakan untuk diterapkan pada peninggalan sejarah yang berupa situs, yang kini akan terjadi di sekitar “pembangunan” Waduk Jatigede.  Memindahkan peninggalan sejarah yang berupa situs dari tempat asalnya bukanlah tindakan yang etis. Perlu diketahui, bahwa situs sejarah melekat pada tempatnya dan nilai-nilai dari situs sejarah tersebut juga berkaitan dengan identitas lokal di daerah setempat. Terlebih bila situs sejarah tersebut adalah situs yang berkaitan dengan tokoh lokal yang memiliki nama harum bagi masyarakat setempat. Beberapa situs sejarah bahkan memiliki nilai spiritual.

Tentu jika pasal 59 UU ini diterapkan secara konsisten, akan ada banyak sekali situs-situs bersejarah baik berupa makam maupun bangunan-bangunan tua dapat dipindahkan, kalau memang tidak menghilangkan nilai-nilai yang melekat padanya. Bahkan untuk memindahkan situs bersejarah seperti gedung Stadhuis (kini Museum Fatahilah), Masjid Agung Demak, makam-makam Wali Songo dan Candi Borobudur pun semenjak ditetapkannya UU tersebut, tidak pernah dilakukan. Tidak perlu menunggu ancaman pelapukan atau lainnya untuk memindahkannya. Bahkan sangat dianjurkan untuk diuji cobakan pada situs-situs sejarah tadi sebagai contoh untuk membuktikan realisasi dari pasal 59 UU Cagar Budaya tersebut. Dalam konteks dipindahkan ke tempat aman, bukan dihancurkan seperti halnya Gerbang Amsterdam (salah satu bagian dari Kasteel van Batavia yang berdiri di masa VOC) yang pernah berdiri ratusan meter dari depan gedung Stadhuis.  Kenyataannya nasib beberapa situs-situs sejarah tersebut tidak pernah jauh dari penghancuran. Tidak pernah ada memindahkan situs, yang ada hanya menempatkannya di antara penghancuran, penelantaran begitu saja atau pembuatan replikanya. Lagipula memindahkan situs sejarah dari tempat asalnya, jelas akan menghilangkan nilai-nilai yang ada. Situs sejarah bukan hewan endemik yang bisa ditempatkan di mana saja sesuka hati, tetapi situs sejarah adalah bagian identitas lokal. Mencoba memindahkan apalagi menghancurkan situs sejarah berarti hilangnya sebagian unsur dari identitas lokal. Kiranya tidak ada yang lebih menyedihkan dalam kehidupan bernegara selain kehilangan identitas lokalnya sebagai suatu bangsa.

Tidak peduli bersitegang dengan penduduk setempat, pemindahan itu tetap akan dilaksanakan. Kembali ditegaskan, bahwa memindahkan situs bersejarah dari tempat asalnya adalah sama dengan memisahkannya dari nilai-nilai penting yang melekat padanya. Untuk menghadapi masalah ini, pihak penolak mengajukan rencana Revitalisasi Kabuyutan Nusantara sebagai ganti pembangunan waduk tersebut. Namun, tidak ada tanggapan positif pada rencana yang sebenarnya lebih realistis untuk diterapkan tersebut. Tantangan debat dan diskusi berkali-kali, demonstrasi, hingga deklarasi malah mendapat tanggapan yang kurang baik. Salah satunya adalah ancaman penindak tegasan terhadap siapapun yang menolak kelanjutan pembangunan Waduk Jatigede yang dilontarkan oleh Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat sekarang.

Maka dari itu, ingatlah oleh kalian yang masih merasa menjadi bagian dari bangsa yang berjiwa besar. Menjaga peninggalan sejarah itu suatu keharusan bagi bangsa yang beradab, namun bukan berarti harus dengan cara memindahkannya hanya untuk pembangunan yang bernuansa kontroversial. Peninggalan sejarah adalah bagian tak terpisahkan bagi eksistensi suatu bangsa, karena bukti peninggalan sejarah adalah unsur utama akar sejarah dari eksistensi suatu bangsa. Maka siapapun yang merasa peduli pada sejarah bangsanya, wajib untuk menolak segala bentuk upaya penodaan terhadap dunia sejarah apalagi didasarkan dalih pembangunan dan atas nama agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik dan sopan sesuai etika dan EYD